Kamis, 30 Juni 2011

Semalam di Tebuireng

Tebuireng memang melegenda. Disaat pergeseran nilai menjadi momok lembaga-lembaga Islam. Pesantren Tebuireng tetap komit mencetak kader tafaqquh fii ad-diin.
Oleh: Dwi Hardianto

Sore itu, hujan lebat mengguyur kota Jombang. Angkutan pedesaan yang membawa Sabili menuju Pesantren Tebuireng, tak kuat menahan derasnya air hujan. Dari jendela yang sebagian sudah keropos, air merembes ke dalam mobil. Akibatnya, sebagian penumpang harus menepi, berjejal, ke sisi yang aman dari rembesan. Alhamdulillah, memasuki Kelurahan Cukir Kecamatan Diwek, yang juga lokasi Pesantren Tebuireng, hujan berhenti.
Dari kejauhan terlihat cerobong asap bekas pabrik gula Cukir berwarna kehitaman. Berseberangan dengan pabrik gula, yang dibangun pada masa kolonial Belanda inilah letak Pesantren Tebuireng. Tepatnya berada di tepi jalan raya Jombang–Pare, sekitar 8 Km selatan kota Jombang, Jawa Timur.
Saat Sabili turun dari mobil tua itu, azan Ashar menggema dari dalam komplek pesantren. Setelah meminta izin dan mengisi buku tamu, Sabili memasuki pesantren. Di dalam masjid yang berada di tengah-tengah kawasan pesantren, para santri duduk bersila. Mereka melantunkan shalawat dan asma Allah untuk menunggu imam. Sabili pun bergabung dengan para jamaah.
Usai shalat, Sabili menemui protokol pesantren, Rusman Gunawan (21 th), untuk meminta izin bertemu pimpinan pesantren KH M Yusuf Hasyim. Rusman yang sudah 3 tahun mondok adalah alumnus SMU PGRI Cibinong, Kabupaten Bogor. Rusman juga kuliah di Jurusan Pendidikan Agama Islam, Fakultas Tarbiyah, Istitut Keislaman Hasyim Asy’ari. Menurut Rusman, kiai bisa ditemui ba’da shalat Maghrib. “Kiai ingin istirahat dulu, insya Allah ba’da Maghrib bisa ditemui.” katanya meyakinkan.
Sambil menunggu Maghrib, Sabili mengitari komplek pesantren. Sore seperti ini, saatnya acara bebas bagi santri. Aktivitas santri pun bermacam-macam, ada yang mandi, mencuci pakaian, jalan-jalan di sekitar pesantren, atau olah raga di halaman asrama. Di dalam masjid, ada juga santri yang tidur-tiduran, membaca atau menghafal al-Qur’an, mempelajari kitab dan lainnya. Uniknya, sebagian santri menghafal al-Qur’an di serambi belakang masjid yang  menghadap makam pendiri pesantren–yang juga pendiri NU–KH M Hasyim Asy’ari.
Menurut Rusman, santri senang membaca dan menghafal al-Qur’an di serambi belakang masjid karena tempatnya tenang, adem, dan sejuk, sehingga memudahkan saat menghafal. Ketika ditanyakan pada Kiai Yusuf Hasyim, yang menerima Sabili ba’da shalat Maghrib, paman Gus Dur ini memberi alasan filosofis. Menurutnya, kebiasaan ini awalnya berlangsung tanpa sengaja. Beberapa bulan setelah meninggalnya Kiai Hasyim Asy’ari, para santri tiba-tiba banyak yang membaca atau menghafal al-Qur’an di tempat itu dengan kesadaran sendiri.
Kiai melanjutkan, ketika Kiai Hasyim Asy’ari meninggal pada 25 Juli 1947, seusai pemakaman hingga satu bulan sesudahnya, di pesantren ini tidak ada proses apapun, tidak ada tahlilan–tradisi yang biasa dilakukan kaum Nahdliyin saat ada anggota keluarga yang meninggal dunia–atau pengajian. Baru setelah para santri melakukannya dengan spontan, pengelola pesantren tersadar. ”Kebiasaan ini adalah metoda untuk mempertahankan ideologi, cita-cita, dan ajaran KH Hasyim As’ari agar meresap dalam sanubari santri,” tegasnya.
Apa tak terjebak perilaku syirik? Menurut Kiai Yusuf Hasim, orang boleh saja menganggap demikian, tapi kami tidak bermaksud mengkultuskan apalagi menyekutukan Allah. Tujuan kami semata-mata untuk mendekatkan para santri kepada ideologi dan cita-cita almarhum. “Contoh, cita-cita Bung Karno itu apa? Susah kita sekarang mengingatnya. Apalagi Bung Hatta, orang semakin tidak tahu. Mungkin dalam satu generasi lagi masyarakat kita tidak tahu Bung Hatta itu siapa,” lanjutnya memberi alasan.
Terkait ideologi dan cita-cita pendiri pesantren ini, Kiai Yusuf Hasyim mempunyai obsesi ke depan dalam mengembangkan pesantrennya. Pesantren yang awalnya sebagai lembaga tafaqquh fii ad-diin (lembaga pendidikan khusus yang menyiapkan generasi ulama), dalam sepuluh tahun terakhir terasa kian menyimpang dari cita-cita awal.
Menurutnya, dulu orang tua mengirim anaknya ke Tebuireng, termotifasi oleh filosofi untuk mondok sambil sekolah atau masuk madrasah. Tapi sekarang, seiring makin kuatnya madrasah dan sekolah, terjadi pergeseran filosofi. Sekolah dulu atau ke madrasah dulu sambil mondok atau sambil ngaji. “Akibatnya, saat ini terjadi keseimbangan yang tak sehat dalam penguasaan ilmu umum dengan ilmu agama”, lanjutnya prihatin.
Untuk mengantisipasinya, secara bertahap pengelola Tebuireng dalam jangka panjang merencanakan membangun komplek madrasah, sekolah, dan perguruan tinggi lengkap dengan asramanya. Pembangunan ini rencananya dilakukan di luar areal pondok saat ini. Pengelola telah mempunyai lahan seluas 9 Ha. Letaknya di sebelah barat berdampingan dengan pondok lama.
Sebenarnya, di lahan baru, saat ini telah berdiri gedung sekolah mulai Madrasah/SD, Tsanawiyah/SMP, Aliyah/SMU/SMK, Perguruan Tinggi (Institut Keislaman Hasyim Asy’ari), dan sebuah Masjid Agung “Hasyim Asy’ari.” Rencananya, madrasah, sekolah, dan perguruan tinggi yang telah ada akan dikembangkan lagi. Disamping itu, juga dibangun asrama untuk menampung santri, pelajar sekolah/madrasah, dan mahasiswa. Jadi sekolah dan asrama dikonsentrasikan di luar pondok.
Sedangkan pondok lama, dikembalikan seperti dulu sebagai pesantren salafiyah safi’iyah. Pesantren ini menganut dan mengembangkan suatu ajaran agama Al-Muhafazhah ‘ala al-qadim al-shalih wa al-akhzdu bi al-jadid al-ashlah (memelihara tradisi lama yang baik dan mengambil tradisi baru yang lebih baik), yang menitikberatkan kajian kitab-kitab shalaf. Ini dimaksudkan untuk menjamin kesinambungan ajaran agama dari generasi ke generasi. Sehingga tujuan menciptakan lembaga tafaqquh fid din bisa terlaksana.
Kemudian, bentuk fisik pondok lama juga tidak diubah. Ini semua merupakan hasil kajian dan pengamatan yang telah dilakukan beberapa tahun terakhir. Hasil pengkajiannya menyimpulkan, pondok saat ini sudah tidak muat lagi menampung seluruh santri. Padahal, madrasah dan sekolah sudah dipindahkan ke areal baru, tapi belum cukup juga menampung seluruh santri.
”Sayangnya, rencana ini masih wacana. Masih memerlukan pembahasan mendalam, membuat perencanaan, pembiayaan, dan seterusnya. Maketnya sudah ada, tapi belum ditetapkan sebagai rencana yang matang dan siap untuk pembangunan,” kata Kiai Yusuf Hasyim. Selain itu, lanjutnya, pihaknya masih menghadapi kendala dana. Inilah PR besar yang harus diselesaikan keluarga besar Tebuireng, termasuk kaum Muslimin lainnya.
Adzan Isya menggema di sekitar pesantren. Di luar, gemericik hujan terdengar lagi. Tapi para santri tetap bersemangat ‘ngaji,’ seusai shalat Isya. ‘Ngaji’-nya dilakukan dengan sistem bandongan weton dan sorogan. Dalam sistem bandongan weton, santri diklasifikasi menurut kelas masing-masing. Kemudian sang kiai membacakan teks kitab disertai ulasan tentang arti dan maknanya dalam bahasa Jawa dan Indonesia. Jadi, santri berada dalam halaqah bukan madrasi (klasikal).
Ada juga sekelompok santri yang menunggu giliran ‘ngaji’ dengan sistem sorogan. Dalam sistem ini, santri secara individual menghadap kiai, membawa kitab sesuai tingkatnya. Selanjutnya, santri itu membaca, menerjemahkan, mengulas, dan memberi makna dari setiap teks dihadapan kiai. Sedangkan, sang kiai mengamati dengan cermat mutu bacaan dan makna yang diulas santrinya. Kiai akan memberi petunjuk secara langsung ketika ada kesalahan. Dengan cara ini, kiai menjadi mengetahui titik lemah dan keunggulan setiap santrinya. Sehingga lebih mudah memberikan bimbingan.
‘Ngaji’ seperti ini berlangsung sampai sekitar jam 22.00 WIb. Setelah itu, para santri istirahat. Meski mereka memiliki asrama masing-masing, tapi serambi depan masjid tetap penuh oleh santri yang tidur.
Hujan belum juga reda. Gemericik hujan kian terasa cepat ritmenya. Jam menunjuk angka 03.00 Wib dinihari. Spontan santri senior membangunkan santri lainnya, mengajak shalat malam. Hingga menjelang subuh, para santri menjalankan shalat penuh khusu’ dan tawadhu. Sebagian ada yang menangis penuh pasrah akan kilaf dan dosa di hadapan Allah Yang Kuasa.
Seusai shalat Subuh, hujan reda. Semburat sinar kekuningan menyembul di ujung timur menandai fajar telah mengintip. Para santri masih ditempatnya, mendengarkan kuliah subuh. Setelah itu, pondok disibukan oleh riuh canda tawa para santri yang antri menunggu giliran mandi. Setelah semuanya usai, tiba-tiba pondok menjadi hening dan senyap, padahal jam baru menunjuk angka 06.30 Wib. Hanya asrama kosong berhias jemuran pakaian para santri yang mulai beraktivitas di sekolah/madrasah.
Seiring keheningan nan damai ini, Sabili meninggalkan Tebuireng. Sepanjang jalan, Sabili merenung, berbeda dengan keponakannya, KH Abdurrahman Wahid, yang ‘asyik’ bermain dengan riuhnya percaturan politik, Kiai Yusuf Hasyim memilih istiqomah mengurus dan membesarkan pesantren dengan prinsip tegas. Tebuireng adalah bagian dari warga negara bukan pemerintah.



Dakwah Islam di Keboireng
Pesantren Tebuireng berasal awalnya hanya sebuah pondok gedek (anyaman bambu) seluas 6 x 8 meter bekas tempat pelacuran di Desa Keboireng.
Oleh Dwi Hardianto 

Seorang warga dusun memelihara kerbau bule. Suatu hari kerbaunya menghilang. Tapi saat senja menjelang, kerbau itu ditemukan sedang berendam di rawa-rawa. Badannya penuh lintah berwarna hitam kelam. Sang pemilik berteriak, “Keboireng!” Akhirnya, desa ini disebut “Keboireng” (kerbau hitam). Desa ini dikenal sebagai sarang perjudian, perampokan, pencurian, pelacuran, minuman keras, dan semua perilaku kejahatan.
Di Desa Keboireng inilah, 102 tahun lalu, tepatnya 26 Robi’ul Awal 1317 H atau 3 Agustus 1899 M, KH M Hasyim Asy’ari mendirikan pesantren yang diberi nama ”Tebuireng”. Dalam mendirikan pesantren ini, Kiai Hasyim dibantu oleh 28 santri dari pesantren kakeknya, Kiai Ustman, di Dusun Gedang Kecamatan Tembelang, yang merupakan bagian dari Pesantren Tambakberas.
Awalnya, Pesantren Tebuireng hanya berupa bangunan kecil seluas 6 x 8 meter. Bangunan yang terbuat dari gedek (anyaman bambu) ini merupkan bekas tempat pelacuran yang dibeli dari seorang dalang wayang kulit. Bangunan itu disekat menjadi dua ruangan, bagian depan untuk mushalah dan tempat ngaji, sedang bagian belakang untuk tempat tinggal kiai dan istrinya, Nyai Khodijah.
Kiai Hasyim Asy’ari yang lahir 26 Dzulqa’idah 1287 H atau 14 Februari 1871 ini adalah putra pasangan Kiai Asy’ari dan Halimah. Sedang Halimah adalah cucu Kiai Abdussalam, pendiri Pesantren Tambakberas. Tak heran, antara Tebuireng dengan Tambakberas terjalin hubungan yang sangat erat, ibarat cucu dengan kakeknya.
Perjalanan dakwah Kiai Hasyim, penuh tantangan. Sejak mendirikan pesantren hingga tiga tahun sesudahnya, hampir tiap malam, kiai selalu mendapat teror fisik, berupa ancaman hingga sabetan clurit dan pedang dari para penjahat. Bahkan, para penjahat itu menantang duel satu lawan satu dengan kiai. Akhirnya, dengan bantuan lima kiai dari Cirebon yang menguasai bela diri, Kiai Hasyim berhasil membasmi kejahatan dan kemaksiatan di desa ini.
Selanjutnya, kehidupan masyarakat pun mulai mendapat pencerahan ilmu agama. Pesantren Tebuireng juga kian mendapat tempat di hati masyarakat. Dalam usia lima tahun, sudah mempunyai 200 santri yang datang dari penjuru tanah air dan negara tetangga, Singapura dan Malaysia. Bahkan, pada usia kesepuluh, santrinya  mencapai 2.000 orang.
Melihat pesatnya perkembangan pesantren, Belanda sangat khawatir akan memicu perjuangan melawan pemerintah. Untuk meredam perjuangan, pada 26 Robiul Awal 1324 atau 6 Februari 1906 Pemerintahan Hindia Belanda mengakui secara resmi keberadaan Pesantren Tebuireng. Tapi taktik kooperatif ini tak menyurutkan perjuangan kiai dan santrinya. Pesantren Tebuireng terus mengobarkan semangat perjuangan merebut kemerdekaan, bahkan mengeluarkan fatwa haram memakai dasi bagi umat Islam. Pada saat itu, Kiai Hasyim mengatakan, memakai dasi menyamai perilaku penjajah kafir.
Selama kepemimpinan Hasyim Asy’ari, Pesantren Tebuireng mengalami masa keemasannya. Berbagai metode pendidikan terus dikembangkannya pada saat itu. Hingga akhir hayatnya pada 25 Juli 1947, ribuan alumnus Tebuireng telah tersebar di seluruh Indonesia, membimbing masyarakat dan membangun peradaban demi tegaknya panji-panji Islam.
Publications: SABILI No 24 TH VIII 23 Mei 2001

Asal Mula PP. Bahrul Ulum Tambakberas Jombang

PONDOK PESANTREN BAHRUL ULUM Tambakberas Jombang, terletak di Dusun Tambakberas, Desa Tambakrejo, Kecamatan Jombang, Kabupaten Jombang, Propinsi Jawa Timur, tepatnya ± 3 Km sebelah utara kota Jombang. PONDOK PESANTREN BAHRUL ULUM Tambakberas Jombang, dengan sosio kultur religious agraris.
Sekitar tahun 1825 di sebuah Desa yang jauh dengan keramaian kota Jombang, tepatnya di sebelah utara kota Jombang, di Dusun Gedang kelurahan Tambakrejo, datanglah seorang yang ‘alim, pendekar ulama atau ulama pendekar, bernama ABDUS SALAM namun lebih dikenal dengan panggilan MBAH SHOICHAH (bentakan yang membuat orang gemetar) Kedatangannya di dusun ini membawa misi untuk menyebarkan agama dan ilmu yang dimilikinya. Menurut silsilah beliau termasuk keturunan Raja Brawijaya (kerajaan Majapahit).
Abdus Salam putra Abdul Jabbar putra Abdul Halim (Pangeran Benowo) putra Adurrohman (Jaka Tingkir). Selengkapnya Baca Silsilah Kyai Abdussalam halaman 21.
Kedatangan Abdus Salam di Desa ini semula masih merupakan hutan belantara, kurang lebih 13 tahun dia bergelut dengan semak belukar dan kemudian dijadikan perkampungan yang dihuni oleh komunitas manusia. Setelah berhasil merubah hutan menjadi perkampungan, mulailah ia membuat gubuk tempat ia berdakwah yaitu sebuah pesantren kecil yang terdiri dari sebuah langgar, bilik kecil untuk santri dan tempat tinggal yang sederhana. Pondok pesantren tersebut dikenal oleh masyarakat dengan sebutan Pondok Selawe atau Telu, dikarenakan jumlah santri yang berjumlah 25 orang dan jumlah bangunan yang hanya terdiri 3 lokal beserta mushollanya. Hal ini terjadi pada tahun 1838 M, kondisi tersebut adalah cikal bakal PONDOK PESANTREN BAHRUL ULUM.
Sementara itu menurut versi yang lain istilah 3 (telu) adalah merupakan representasi dari Pondok Selawe atau Pondok Telu yang mengembangkan ilmu-ilmu Syari’at, Hakikat dan Kanuragan. Hal itu didasarkan pada manifestasi keilmuan Mbah Shoichah sendiri yang mencakup ketiganya.
Setelah Kyai Shoichah (Abdussalam) berusia lanjut (sepuh: bahasa jawa) tampuk pimpinan pondok Selawe atau pondok telu diserahkan kepada dua menantunya yang tidak lain adalah santrinya sendiri. Kedua menantunya tersebut adalah Kyai Ustman dan Kyai Sa’id. Dengan mendapat restu dari mertuanya Kyai Ustman dan Kyai Sa’id  menjadikan pondok menjadi dua cabang, hal ini dikarenakan jumlah santri yang semakin bertambah banyak. Kyai Ustman mengembangkan pondok di Dusun Gedang yang tidak jauh dari pesantren ayah mertuanya yaitu di sebelah timur sungai pondok pesantren, sedangkan Kyai Sa’id  mengembangkan pesantren di sebelah barat sungai.
Dalam penataan manajemen pendidikan pesantren yang diasuhnya, Kyai Ustman lebih berkonsentrasi mengajarkan ilmu-ilmu Thoriqot atau Tasawuf, sedangkan Kyai Sa’id mengajarkan ilmu-ilmu Syari’at.

Lisan Terjaga Kebatilan Sirna

Oleh:  Yusuf Assidiq
Lidahmu adalah harimaumu, begitu kata pepatah. Ini mengandung makna betapa besar dampak dari setiap ucapan yang terlontar. Tak sedikit orang yang terjerumus ke jurang masalah karena mengatakan sesuatu yang tidak pada tempatnya. Dalam kaitan ini, agama Islam telah memberikan rambu-rambu.
Pada dasarnya, ucapan maupun perkataan merupakan cerminan jiwa. Maka itu, Nabi Muhammad SAW berpesan pilihlah kata-kata yang baik. Dalam hal ini, beliau merupakan teladan terbaik. Setiap saat, Rasulullah senantiasa menggunakan kata yang baik dan halus untuk umatnya.
Sebaliknya, beliau menjauhkan kata-kata yang jelek, kasar, dan keji. Bahkan, Rasulullah sangat membenci jika ada kalimat yang digunakan tidak pada tempatnya yang sesuai. Misalnya, ada kalimat yang baik dan bermakna mulia namun diucapkan kepada orang atau sesuatu yang sebenarnya tidak berhak menyandang kalimat itu.
Juga sebaliknya, jika ada kalimat jelek dan berarti hina, diarahkan untuk orang atau sesuatu yang mulia. “Janganlah kalian memanggil orang munafik dengan panggilan tuan karena jika dia memang seorang tuan, maka dengan panggilan itu kalian telah membuat Tuhan kalian murka.” Demikian sabda Rasulullah yang diriwayatkan oleh Abu Dawud.
Selain itu, umat diminta menjaga ucapan yang mengandung syirik. Seperti ucapan, “Aku meminta pertolongan kepada Allah dan kepadamu.” Sesuai tuntutan Rasulullah, mereka yang mengucapkan kalimat-kalimat semacam itu berarti telah menyekutukan atau sepadan bagi Allah SWT.
Dalam buku Berakhlak dan Beradab Mulia, Contoh-contoh dari Rasulullah,  Saleh Ahmad asy-Syaami menambahkan, kalimat bernada mencela juga sebaiknya dihindari. Peringatan itu juga disampaikan oleh Rasulullah melalui hadis yang diriwayatkan Bukhari, Muslim, dan Muttafaaq’alaih.
Rasulullah mengatakan, “Allah SWT berfirman, ‘Anak keturunan Adam menyakiti-Ku, karena mereka mencela masa, padahal Aku adalah Zat yang menciptakan dan menguasai masa. Aku yang mempergantikan malam dan siang.” Asy-Syaami menyatakan, perkataan yang mencela melahirkan kesalahan besar.
Menurut dia, celaan yang diucapkan itu sebenarnya akan mengenai diri mereka sendiri. “Mereka telah berkata hal-hal yang tak patut,” paparnya.
Asy-Syaami melanjutkan, ucapan-ucapan yang tak baik sama sekali tidak mendatangkan manfaat apa pun. Justru sebaliknya, menjerumuskan seseorang ke jalan kebatilan. Tak hanya itu, ucapan yang buruk itu juga mendatangkan perpecahan dan pertikaian antarsesama.
Termasuk yang perlu dijauhi adalah berkata bohong. Islam tidak memberikan keringanan bagi umatnya yang berbohong. Ibn Qayyim dalam kitab al-Fawa’id mengingatkan umat agar berhati-hati terhadap kebohongan. Sebab, kebohongan akan merusak cara pandang umat terhadap fakta yang sebenarnya.
Menurut pandangan Mahmud al-Mishri melalui bukunya Ensiklopedia Akhlak Muhammad, seorang pembohong akan menyifati sesuatu yang nyata dengan sesuatu yang abstrak dan menyifati yang abstrak dengan yang nyata. Selain itu, mereka menyifati kebenaran dengan kebatilan demikian pula sebaliknya.
Rasulullah melalui hadis yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim mengatakan, kebohongan akan menggiring pelakunya pada kejahatan dan kejahatan akan menjerumuskan ke dalam neraka. Mari kita jauhkan diri kita dari api neraka dengan menjaga lidah kita.
Republika.co.id

Walisongo

walisongoWalisongo atau Walisanga dikenal sebagai penyebar agama Islam di tanah Jawa pada abad ke 15 dan 16. Mereka tinggal di tiga wilayah penting pantai utara Pulau Jawa, yaitu Surabaya-Gresik-Lamongan di Jawa Timur, Demak-Kudus-Muria di Jawa Tengah, dan Cirebon di Jawa Barat.
Era Walisongo adalah era berakhirnya dominasi Hindu-Budha dalam budaya Nusantara untuk digantikan dengan kebudayaan Islam. Mereka adalah simbol penyebaran Islam di Indonesia, khususnya di Jawa. Tentu banyak tokoh lain yang juga berperan. Namun peranan mereka yang sangat besar dalam mendirikan Kerajaan Islam di Jawa, juga pengaruhnya terhadap kebudayaan masyarakat secara luas serta dakwah secara langsung, membuat para Walisongo ini lebih banyak disebut dibanding yang lain.
Arti Walisongo
Ada beberapa pendapat mengenai arti Walisongo. Pertama adalah wali yang sembilan, yang menandakan jumlah wali yang ada sembilan, atau sanga dalam bahasa Jawa. Pendapat lain menyebutkan bahwa kata songo/sanga berasal dari kata tsana yang dalam bahasa Arab berarti mulia. Pendapat lainnya lagi menyebut kata sana berasal dari bahasa Jawa, yang berarti tempat.
Pendapat lain yang mengatakan bahwa Walisongo ini adalah sebuah dewan yang didirikan oleh Raden Rahmat (Sunan Ampel) pada tahun 1474. Saat itu dewan Walisongo beranggotakan Raden Hasan (Pangeran Bintara); Makhdum Ibrahim (Sunan Bonang, putra pertama dari Sunan Ampel); Qasim (Sunan Drajad, putra kedua dari Sunan Ampel); Usman Haji (Pangeran Ngudung, ayah dari Sunan Kudus); Raden Ainul Yaqin (Sunan Giri, putra dari Maulana Ishaq); Syekh Suta Maharaja; Raden Hamzah (Pangeran Tumapel) dan Raden Mahmud.
Para Walisongo adalah intelektual yang menjadi pembaharu masyarakat pada masanya. Pengaruh mereka terasakan dalam beragam bentuk manifestasi peradaban baru masyarakat Jawa, mulai dari kesehatan, bercocok-tanam, perniagaan, kebudayaan, kesenian, kemasyarakatan, hingga ke pemerintahan.
Nama-nama Walisongo
Meskipun terdapat perbedaan pendapat mengenai siapa saja yang termasuk sebagai Walisongo, pada umumnya terdapat sembilan nama yang dikenal sebagai anggota Walisongo yang paling terkenal, yaitu:
• Sunan Gresik atau Maulana Malik Ibrahim
• Sunan Ampel atau Raden Rahmat
• Sunan Bonang atau Raden Makhdum Ibrahim
• Sunan Drajat atau Raden Qasim
• Sunan Kudus atau Jaffar Shadiq
• Sunan Giri atau Raden Paku atau Ainul Yaqin
• Sunan Kalijaga atau Raden Said
• Sunan Muria atau Raden Umar Said
• Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah
Para Walisongo tidak hidup pada saat yang persis bersamaan. Namun satu sama lain mempunyai keterkaitan erat, bila tidak dalam ikatan darah juga karena pernikahan atau dalam hubungan guru-murid.
Maulana Malik Ibrahim
Maulana Malik Ibrahim adalah keturunan ke-11 dari Husain bin Ali. Ia disebut juga Sunan Gresik, Syekh Maghribi, atau terkadang Makhdum Ibrahim As-Samarqandy. Ia diperkirakan lahir di Samarkand di Asia Tengah, pada paruh awal abad ke-14. abad Tanah Jawi versi Meinsma menyebutnya Asmarakandi, mengikuti pengucapan lidah orang Jawa terhadap As-Samarqandy Dalam cerita rakyat, ada yang memanggilnya Kakek Bantal.
Malik Ibrahim umumnya dianggap sebagai wali pertama yang mendakwahkan Islam di Jawa. Ia mengajarkan cara-cara baru bercocok tanam dan banyak merangkul rakyat kebanyakan, yaitu golongan masyarakat Jawa yang tersisihkan akhir kekuasaan Majapahit. Malik Ibrahim berusaha menarik hati masyarakat, yang tengah dilanda krisis ekonomi dan perang saudara. Ia membangun pondokan tempat belajar agama di Leran, Gresik. Pada tahun 1419, Malik Ibrahim wafat. Makamnya terdapat di desa Gapura Wetan, Gresik, Jawa Timur.
Sunan Ampel
Sunan Ampel bernama asli Raden Rahmat, keturunan ke-12 dari Husain bin Ali, menurut riwayat adalah putra Maulana Malik Ibrahim dan seorang putri Champa. Ia disebutkan masih berkerabat dengan salah seorang istri atau selir dari Brawijaya raja Majapahit. Sunan Ampel umumnya dianggap sebagai sesepuh oleh para wali lainnya. Pesantrennya bertempat di Ampel Denta, Surabaya, dan merupakan salah satu pusat penyebaran agama Islam tertua di Jawa. Ia menikah dengan Nyai Ageng Manila, putri adipati Tuban bernama Arya Teja. Sunan Bonang dan Sunan Kudus adalah anak-anaknya, sedangkan Sunan Drajat adalah cucunya. Makam Sunan Ampel teletak di dekat Masjid Ampel, Surabaya.
Sunan Bonang
Sunan Bonang adalah putra Sunan Ampel, dan merupakan keturunan ke-13 dari Husain bin Ali. Ia adalah putra Sunan Ampel dengan Nyai Ageng Manila, putri adipati Tuban bernama Arya Teja. Sunan Bonang banyak berdakwah melalui kesenian untuk menarik penduduk Jawa agar memeluk agama Islam. Ia dikatakan sebagai penggubah suluk Wijil dan tembang Tombo Ati, yang masih sering dinyanyikan orang. Pembaharuannya pada gamelan Jawa ialah dengan memasukkan rebab dan bonang, yang sering dihubungkan dengan namanya. Universitas Leiden menyimpan sebuah karya sastra bahasa Jawa bernama Het Boek van Bonang atau Buku Bonang. Menurut G.W.J. Drewes, itu bukan karya Sunan Bonang namun mungkin saja mengandung ajarannya. Sunan Bonang diperkirakan wafat pada tahun 1525.
Sunan Drajat
Sunan Drajat adalah putra Sunan Ampel, dan merupakan keturunan ke-13 dari Husain bin Ali. Ia adalah putra Sunan Ampel dengan Nyai Ageng Manila, putri adipati Tuban bernama Arya Teja. Sunan Drajat banyak berdakwah kepada masyarakat kebanyakan. Ia menekankan kedermawanan, kerja keras, dan peningkatan kemakmuran masyarakat, sebagai pengamalan dari agama Islam. Pesantren Sunan Drajat dijalankan secara mandiri sebagai wilayah perdikan, bertempat di Desa Drajat, Kecamatan Paciran, Lamongan. Tembang macapat Pangkur disebutkan sebagai ciptaannya. Gamelan Singomengkok peninggalannya terdapat di Musium Daerah Sunan Drajat, Lamongan. Sunan Drajat diperkirakan wafat wafat pada 1522.
Sunan Kudus
Sunan Kudus adalah putra Sunan Ngudung atau Raden Usman Haji, dengan Syarifah adik dari Sunan Bonang. Sunan Kudus adalah keturunan ke-14 dari Husain bin Ali. Sebagai seorang wali, Sunan Kudus memiliki peran yang besar dalam pemerintahan Kesultanan Demak, yaitu sebagai panglima perang dan hakim peradilan negara. Ia banyak berdakwah di kalangan kaum penguasa dan priyayi Jawa. Diantara yang pernah menjadi muridnya, ialah Sunan Prawoto penguasa Demak, dan Arya Penangsang adipati Jipang Panolan. Salah satu peninggalannya yang terkenal ialah Mesjid Menara Kudus, yang arsitekturnya bergaya campuran Hindu dan Islam. Sunan Kudus diperkirakan wafat pada tahun 1550.
Sunan Giri
Sunan Giri adalah putra Maulana Ishaq. Sunan Giri adalah keturunan ke-12 dari Husain bin Ali, merupakan murid dari Sunan Ampel dan saudara seperguruan dari Sunan Bonang. Ia mendirikan pemerintahan mandiri di Giri Kedaton, Gresik; yang selanjutnya berperan sebagai pusat dakwah Islam di wilayah Jawa dan Indonesia timur, bahkan sampai ke kepulauan Maluku. Salah satu keturunannya yang terkenal ialah Sunan Giri Prapen, yang menyebarkan agama Islam ke wilayah Lombok dan Bima.
Sunan Kalijaga
Sunan Kalijaga adalah putra adipati Tuban yang bernama Tumenggung Wilatikta atau Raden Sahur. Ia adalah murid Sunan Bonang. Sunan Kalijaga menggunakan kesenian dan kebudayaan sebagai sarana untuk berdakwah, antara lain kesenian wayang kulit dan tembang suluk. Tembang suluk Ilir-Ilir dan Gundul-Gundul Pacul umumnya dianggap sebagai hasil karyanya. Dalam satu riwayat, Sunan Kalijaga disebutkan menikah dengan Dewi Saroh binti Maulana Ishaq.
Sunan Muria
Sunan Muria atau Raden Umar Said adalah putra Sunan Kalijaga. Ia adalah putra dari Sunan Kalijaga yang menikah dengan Dewi Sujinah, putri Sunan Ngudung.
Sunan Gunung Jati
Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah adalah putra Syarif Abdullah putra Nurul Alam putra Syekh Jamaluddin Akbar. Dari pihak ibu, ia masih keturunan keraton Pajajaran melalui Nyai Rara Santang, yaitu anak dari Sri Baduga Maharaja. Sunan Gunung Jati mengembangkan Cirebon sebagai pusat dakwah dan pemerintahannya, yang sesudahnya kemudian menjadi Kesultanan Cirebon. Anaknya yang bernama Maulana Hasanuddin, juga berhasil mengembangkan kekuasaan dan menyebarkan agama Islam di Banten, sehingga kemudian menjadi cikal-bakal berdirinya Kesultanan Banten.
Sumber: Wikipedia

Rabu, 29 Juni 2011

Adab Penuntut Ilmu Dalam Dirinya Sendiri


1. Ilmu adalah ibadah:

Dasar dari segala dasar dalam ‘bekal’, bahkan untuk segala perkara yang dicari adalah engkau mengetahui bahwa ilmu adalah ibadah, dan atas dasar itu maka syarat ibadah adalah:

1) Ikhlas karena Allah SWT, berdasarkan firman Allah SWT:

وَمَآ أُمِرُوْ~ا إِلاَّ لِيَعْبُدُوْااللهَ مُخْلِصِيْنَ لَهُ الدِّيْنَ حُنَفَآءَ

Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah SWT dengan memurnikan keta’atan kepada-Nya dalam(menjalankan) agama yang lurus,. (QS. al-Bayyinah:5)

Dan dalam sebuah hadits, Nabi Muhammad SAW bersabda: ‘Sesungguhnya segala amal disertai niat…’

Maka jika ilmu sudah kehilangan niat yang ikhlas, ia berpindah dari ketaatan yang paling utama kepada kesalahan yang paling rendah dan tidak ada sesuatu yang meruntuhkan ilmu seperti riya, sum’ah dan yang lain nya.

Atas dasar itulah, maka engkau harus membersihkan niatmu dari segala hal yang mencemari kesungguhan menuntut ilmu, seperti ingin terkenal dan melebihi teman-teman. Maka sesungguhnya hal ini dan semisalnya, apabila mencampuri niat niscaya ia merusaknya dan hilanglah berkah ilmu. Karena inilah engkau harus menjaga niatmu dari pencemaran keinginan selain Allah SWT, bahkan engkau menjaga daerah terlarang.

2) Perkara yang menggabungkan kebaikan dunia dan akhirat: yaitu cinta kepada Allah SWT dan rasul-Nya dan merealisasikannya dengan mutaba’ah dan mengikuti jejak langkah beliau.

2. Jadilah engkau seorang salafi:

Jadikanlah dirimu seorang salafi yang sungguh-sungguh, jalan salafus shalih dari kalangan sahabat radhiyallahu ‘anhum dan generasi selanjutnya yang mengikuti jejak langkah mereka dalam semua bab agama dalam bidang tauhid, ibadah dan lainnya.

3. Selalu takut kepada Allah SWT:

Berhias diri dengan membangun lahir dan batin dengan sikap takut kepada Allah SWT, menjaga syi’ar-syi’ar islam, menampakkan sunnah dan menyebarkannya dengan mengamalkan dan berdakwah kepadanya.

Hendaklah engkau selalu takut kepada Allah SWT dalam kesendirian dan bersama orang banyak. Sesungguhnya sebaik-baik manusia adalah yang takut kepada Allah SWT, dan tidak takut kepada-Nya kecuali orang yang berilmu. Dan jangan hilang dari ingatanmu bahwa seseorang tidak dipandang alim kecuali apabila ia mengamalkan, dan seorang alim tidak mengamalkan ilmunya kecuali apabila ia selalu takut kepada Allah SWT.

4. Senantiasa muraqabah:

Berhias diri dengan senantiasa muraqabah kepada Allah SWT dalam kesendirian dan kebersamaan, berjalan kepada Rabb-nya di antara sikap khauf (takut) dan raja` (mengharap), bagi seorang muslim kedua sifat itu bagaimana dua sayap bagi burung.

5. Merendahkan diri dan membuang sikap sombong dan takabur:

Hiasilah dirimu dengan adab jiwa, berupa sikap menahan diri dari meminta, santun, sabar, tawadhu terhadap kebenaran, sikap tenang dan rendah diri, memikul kehinaan menuntut ilmu untuk kemuliaan ilmu, berjuang untuk kebenaran. Jauhilah sikap sombong, sesungguhnya ia adalah sikap nifak dan angkuh. Salafus shalih sangat menjauhi sikap tercela tersebut.

Jauhilah penyakit sombong, maka sesungguhnya sikap sombong, tamak dan dengki adalah dosa pertama yang dilakukan terhadap Allah SWT. Sikap congkakmu terhadap gurumu adalah sikap sombong. Sikap engkau meremehkan orang yang memberi faedah kepadamu dari orang yang lebih rendah darimu adalah sikap sombong. Kelalainmu dalam mengamalkan ilmu merupakan tanda kesombongan dan tanda terhalang.

6. Qana’ah dan zuhud:

Berbekal diri dengan sikap qana’ah (merasa cukup dengan yang ada) dan zuhud. Hakikat zuhud adalah: Enggan terhadap yang haram, menjauhkan diri dari segala syubhat dan tidak mengharapkan apa yang miliki orang lain. Dan atas dasar itulah, hendaklah ia sederhana dalam kehidupannya dengan sesuatu yang tidak merendahkannya, di mana dia dapat menjaga diri dan orang yang berada dalam tanggungannya, dan tidak mendatangi tempat-tempat kehinaan.

7. Berhias diri dengan keindahan ilmu:

Diam yang baik dan petunjuk yang shalih berupa ketenangan, khusyuk, tawadhu’, tetap dalam tujuan dengan membangun lahir dan batin dan meninggalkan yang membatalkannya.

8. Berbekal diri dengan sikap muru`ah:

Berbekal diri dengan sikap muru`ah dan yang membawa kepadanya berupa akhlak yang mulia, bermuka manis, menyebarkan salam, sabar tergadap manusia, menjaga harga diri tanpa bersikap sombong, berani tanpa sikap fanatisme, bersemangat tinggi bukan atas dasar kebodohan.

Oleh karena itu, tinggalkanlah sifat yang merusak muru`ah (kesopanan) berupa pekerjaan yang hina atau teman yang rendah seperti sifat ujub, riya, sombong, takabur, merendahkan orang lain dan berada di tempat yang meragukan.

9. Bersikap jantan termasuk sikap berani.

Keras dalam kebenaran dan akhlak yang mulia, berkorban di jalan kebaikan sehingga harapan orang menjadi terputus tanpa keberadaanmu.

Atas dasar itu, hindarilah lawannya berupa jiwa yang lemah, tidak penyabar, akhlak yang lemah, maka ia menghancurkan ilmu dan memutuskan lisan dari ucapan kebenaran.

10. Meninggalkan kemewahan:

Jangan terlalu berlebihan dalam kemewahan, maka sesungguhnya ‘kesederhanaan termasuk bagian dari iman’, ingatlah wasiat Umar bin Khathab RA: ‘Jauhilah kenikmatan, pakaian bangsa asing, dan bersikaplah sederhana dan kasar…’

Atas dasar itulah, maka jauhilah kepalsuan peradaban, sesungguhnya ia melemahkan tabiat dan mengendurkan urat saraf, mengikatmu dengan benang ilusi. Orang-orang yang serius sudah mencapai tujuan mereka sedangkan engkau tetap berada di tempatmu, sibuk memikirkan pakaianmu…

Hati-hatilah dalam berpakaian karena ia mengungkapkan pribadimu bagi orang lain dalam berafiliasi, pembentukan dan perasaan. Manusia mengelompokkan engkau dari pakaianmu. Bahkan, tata cara berpakain memberikan gambaran bagi yang melihat golongan orang yang berpakaian berupa ketenangan dan berakal, atau keulamaan atau kekanak-kanakan dan suka menampilkan diri.

Maka pakailah sesuatu yang menghiasimu, bukan merendahkanmu, tidak menjadikan padamu ucapan bagi yang berkata (maksudnya, orang lain tidak memberikan komentar, pent.) dan ejekan bagi yang mengejek.

Jauhilah pakaian kekanak-kanakan, tidak berarti kamu memakai pakaian yang tidak jelas, akan tetapi sederhana dalam berpakaian dalam gambaran syara’, yang diliputi tanda yang shalih dan petunjuk yang baik.

11. Berpaling dari majelis yang sia-sia:

Janganlah engkau berkumpul dengan orang-orang yang melakukan kemungkaran di majelis mereka, menyingkap tabir kesopanan. Maka sesungguhnya dosamu terhadap ilmu dan pemiliknya sangat besar.

12. Berpaling dari kegaduhan

Memelihara diri dari keributan dan kegaduhan, maka sesungguhnya berada atau suka dalam sebuah kegaduhan atau keributan bertentangan dengan adab menuntut ilmu.

13. Berhias dengan kelembutan:

Hendaklah selalu lembut dalam ucapan, menjauhi kata-kata yang kasar, maka sesungguhnya ungkapan yang lembut menjinakkan jiwa yang membangkang.

14. Berpikir:

Berhias dengan merenung, maka sesungguhnya orang yang merenung niscaya mendapat, dan dikatakan: renungkanlah niscaya engkau mendapat.

15. Teguh dan kokoh:

Berhiaslah dengan sikap teguh dan kokoh, terutama di dalam musibah dan tugas penting. Dan di dalamnya: sabar dan teguh di saat tidak bertemu dalam waktu yang lama dalam menuntut ilmu dengan para guru, maka sesungguhnya orang yang teguh akan tumbuh.

 
Anda Adalah Pengunjung yang Kesekian

hit counters